Thursday, September 14, 2017

Fisfic (2011) DVDRip


Apa yang terjadi ketika ketika para sineas-sineas top negeri ini seperti Sheila Timothy, Joko Anwar, The Mo Brothers, Gareth Evans, Ekky Imanjaya dan Rusli Eddy berkumpul lalu memberikan kesempatan luar biasa kepada para filmaker-filmaker muda Indonesia untuk menunjukan potensi mereka? Jawabannya adalah FISFiC ( Fantastic Indonesian Short Film Competition). Ya, melalui ajang yang melombakan skenario-skenario film bergenre fantastic (horor, thriller, sci-fi dan fantasi) inilah kemudian dipilihlah 6 kelompok finalis dari 400 peserta untuk kemudian mendapatkan kesempatan emas menerjemahkan ide-ide hebat mereka dalam sebuah film pendek dengan budget dan waktu terbatas yang nantinya setiap karya masing-masing akan menjadi bagian dari omnibus Indonesia paling ambisius tahun ini. So, mari kita lihat apa saja isi perut FISFiC vol. 1 ini.
 ——————————————————————————————————-

Meal Time | Dir: Ian Salim | Writer: Ian Salim & Elvira Kusno

 
Sebagai film pembuka dari  film pendek penuh teror Meal Time tidak terlihat seperti karya-karya Ian Salim sebelumnya. Tidak ada sinematografi cantik layaknya dalam Yours Trully yang mengejutkan itu, atau juga seperti di beberapa wedding clip yang dibuatnya. Idenya menarik, aura mencekamnya berhasil dibangun dengan rapi dengan akting yang cukup baik,  termasuk ketika ia memberikan sedikit sentuhan komedi tersembunyi dalam pemilihan nama-nama karakternya. Sayang Meal Time bukanlah tipe film yang mudah untuk dieksekusi dalam durasi yang singkat. Meal Time adalah tipe film panjang yang membutuhkan kesabaran dalam menghadirkan dan menjawab setiap misterinya secara perlahan, jadi ketika dengan hanya 20 menit yang sebentar kemudian tiba-tiba saja penonton disuguhkan twist mengejutkan seperti yang terjadi disini, Meal Time seperti memaksakan penontonnya untuk terkejut dengan cara yang instan dan tidak elegan.

Rengasdengklok | Dir: Dion Widhi Putra | Writer: Yonathan Lim

Konsepnya hebat, memodifikasi sejarah versi mereka sendiri dengan memasukan misteri dibalik perisitwa misterius yang terjadi satu hari sebelum sebuah negara merebut kemerdekaan mereka kembali dari tangan penjajahan Jepang, jadi tidak heran jika kemudian Rengasdengklok mampu masuk sampai 6 besar dengan ide brilian seperti ini. Tapi apa yang terjadi dilapangan setelah opening scene animasinya yang keren ternyata berbanding terbalik. Saya tahu ini adalah film dari sineas amatiran, tapi bukan berarti harus membuatnya terlihat murahan kan? Saya tahu membuat film zombie itu tidak mudah, tapi tidak  bisakah membuat make-up yang sedikit lebih meyakinkan? Efek visualisasi yang sepertinya ingin menjadikannya tampak jadul malah membuat mata sakit belum lagi diperparah dengan akting-akting dari para pemainnya yang sangat buruk membuat ide hebat itu harus terbuang percuma, bahkan twist diakhir ceritanya pun tidak membuat Rengasdengklok beranjak dari posisi terbawah di FISFiC vol.1 ini.

Recknoning | Dir: Zavero G Idris & Katharina Vassar | Writer: Katharina Vassar

Naskah yang menarik dalam balutan visual bergaya hitam putih yang mencekam, scoring ‘etnik’ yang unik,  bersetting di satu tempat saja dengan akting kuat dari para pemainnya, Reckoning jelas punya potensi untuk menjadikannya sebuah thriller yang bagus, apalagi seiring dengan berjalannya film penonton diajak menemui fakta-fakta mengejutkan di dalamnya jauh dari kesan sebuah kisah perampokan biasa. Sayangnya duo Zavero G Idris & Katharina Vassar tidak mampu menghadirkan suspense kuat didalamnya. Reckoning terlalu ‘cerewet’ dan sedikit bertele-tele dalam perjalannya menuju klimaks, membuat 20 menit yang pedek  terasa sangat lama. Yah, untung saja ia masih mampu diakhiri dengan ending yang cukup bagus.

Rumah Babi | Dir: Alim Sudio | Writer: Harry Setiawan

 

Ah, meyenangkan rasanya melihat akhirnya ada yang benar-benar menyajikan horor sejati dalam omnibus ini. Ya, judulnya terkesan provokatif, sama provokatifnya dengan dengan pesan yang ingin disampaikan Alim Sudio disini. Pengalamannya sebagai penulis naskah untuk beberapa film layar lebar sepertinya membuat dirinya terasa nyaman menggarap Rumah Babi. lihat saja Sudio sudah sukses menyajikan aura horor kelam pendiri bulu kuduk yang begitu efektif dari setiap sudut gelap rumah kuno itu untuk menakut-nakuti penontonnya di sepanjang 20 menit durasinya, termasuk opening scene nya yang disturbing. Semuanya itu mampu berjalan beriringan dengan eksekusi dan naskah menarik yang ditulisnya tentang hantu dan budaya kematian etnis Tionghoa – lihat saja seperti salah satunya pantangan kucing hitam dalam sebuah acara kematian. Settingnya terbatas, pemain utamanya hanya 3 orang, tapi semuanya mampu memberikan kinerja yang maksimal bagi karakter mereka masing-masing. Mungkin sedikit kurang pada bagian make-up tapi semuanya mampu dibayar lunas dengan pengarapan dan konsep yang hebat.

Effect | Dir: Adriano Rudiman |  Writer: Leila Safira  & Adriano Rudiman

 
Effect punya teknis penyajian yang bagus, sebagus premisnya yang tidak biasa itu. Disarankan untuk tidak membaca sinoposisnya karena Effect punya efek untuk mengejutkan penontonnya bahkan sejak pertengahan film. Ini adalah sebuah urban thriller dengan ide paling ‘gila’ di FISFIC vol.1 ini. Saya langsung tahu bahwa Effect akan menjadi sajian menarik ketika Adriano membukanya dengan pemilihan warna sepia yang mencolok termasuk cara kerja kameranya yang dinamis. Dengan tidak terburu-buru ia kemudian menuntun penontonnya,  melihat karakter wanita yang dimainkan cukup baik oleh Tabitha dalam usahanya menghadapi bosnya yang kejam sampai pada akhirnya kita dipertemukan pada ‘ide gila’ itu. Dari titik ini Effect seharusnya bisa tampil luar biasa andai saja rentetan ‘efek domino’ sebagai atraksi utama itu tidak terkesan dipaksakan. Ya, sayang memang, sebuah kesalahan kecil tapi memiliki efek besar untuk merusak keselurhan film yang semestinya bisa menjadi keren ini.

Taksi | Dir: Arianjie AZ & Nadia Yuliani | Writer: Arianjie AZ & Nadia Yuliani

 
” Save the best for last “. Entah disengaja atau tidak, menempatkan pemenang FISFiC ini di penghujung anthologi ini seakan-akan LifeLike Pictures ingin memberikan sajian penutup mereka yang terbaik melalui TaksiTaksi sendiri  mengusung tema sederhana namun sangat dekat dengan peristiwa sehari-hari, tema tentang kejahatan yang sering menimpa para kaum hawa diangkutan umum, dalam kasus ini adalah taksi. Dibuka dengan tone kelam dengan setting malam hari yang sepi dan temaram melalui balutan sinematografi yang ayu, kita akan diperkenalkan pada sosok Shareefa Daanish yang baru saja selesai lembur dan menunggu angkutan. Dari sini semua dimulai, disaat sebuah taksi mendekatinya dan menawarkan tumpangan kepada dara cantik itu. Apa yang terjadi kemudian adalah tensi ketegangan yang dibangun dengan baik secara perlahan. Awalnya kita hanya disugguhkan oleh cerita mengerikan yang keluar dari mulut si supir mesum sembari membawa penumpangnya itu menembus dinginnya malam melalui deretan bagunan-bangunan tinggi kota Jakarta, tapi apa yang terjadi kemudian adalah kejutan yang tidak disangka-sangka, sebuah twist mengerikan yang mampu merobek keheningan malam itu. Ya, saya suka bagaimana duet Arianjie AZ dan Nadia Yuliani memaksimalkan setnya yang sangat sempit itu. Banyak ketegangan, jeritan dan darah yang disajikan dengan sangat baik hanya dalam sebuah kendaraan roda empat kecil. Ya, ini adalah sebuah thriller ruang sempit yang nyaris sempurna.

Next

Related


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)